KOMPAS.com - Sejenak mari menyimak soal dua angka. Hal sederhana, angka dimaksud, pertama, adalah angka resep makanan yang digoreng rendam dalam minyak goreng panas yang banyak. Khalayak banyak menyebutnya dengan makanan gorengan.
Lantas, angka yang kedua adalah angka mengenai pencampuran bahan makanan yang dimasak dalam cairan dan dihidangkan dalam kuah. Orang kebanyakan menyebutnya dengan makanan rebusan.
Dikutip dari catatan laman Cookpad.com, jumlah resep makanan gorengan menyentuh angka 22.697 catatan yang dijumpai di Indonesia.
Kategori ini masih ditambah dengan kata "enak" dan "sederhana". Simpel saja, "enak" menyangkut rasa. Sementara itu, "sederhana" berkarib dengan cara mudah serta hemat tatkala membuat makanan dimaksud.
Masih menurut laman itu, rupanya ada 2.344 resep rebusan enak dan sederhana. Jika dibandingkan dengan makanan gorengan, sudah pasti, ada selisih berlipat-lipat.
Kedua catatan itu memberi pesan bahwa di Tanah Air, makanan gorengan adalah penganan atau camilan bahkan menu utama paling favorit.
Sekadar membuktikan pula, penjual makanan gorengan paling gampang dijumpai, bahkan di pelosok-pelosok negeri ini.
Mau tambah bukti? Orang Indonesia paling doyan menyantap makanan gorengan sembarang waktu.
Perhatikan saja, pagi, siang, bahkan hingga malam, menu makanan gorengan masuk ke mulut orang Indonesia. Singkong goreng, telur goreng, aci goreng, pempek goreng, nasi goreng, mi goreng, ubi goreng, pisang goreng, tempe goreng, risoles goreng, empal goreng, dan masih banyak lagi.
Saking tak tertandingnya makanan gorengan, orang-orang Maluku acap berkata, "Gorengan, seng ada lawan!" (Gorengan enggak ada lawan!)
Hal yang juga patut menjadi perhatian adalah bahan dasar minyak goreng. Sampai sekarang, kelapa sawit paling banyak dipakai sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng.
Tanaman ini masuk ke Indonesia pada 1848 dari daerah-daerah lain di Asia sebagai tanaman hias, seturut tulisan bloger Kompasiana.com, Sugeng Hardianto.
Pada 1853, keempat tanaman tersebut telah berbuah dan bijinya disebarkan secara gratis. Pada pengamatan tahun 1858, ternyata keempat tanaman tersebut tumbuh subur dan berbuah lebat.
Walaupun berbeda waktu penanaman (sawit asal Bourbon lebih dulu dua bulan), tanaman tersebut berbuah dalam waktu yang sama, mempunyai tipe yang sangat beragam, kemungkinan diperoleh dari sumber genetik yang sama.
Lantas, selama 20 tahun terakhir, tulis laman Indonesia-investments.com, Indonesia dan Malaysia menjelma menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar dunia. Kedua negara ini secara total menghasilkan 85-90 persen dari total produksi minyak sawit dunia.
Untuk mempertahankan status ini, salah satu pokok utama adalah mempertahankan kelapa sawit sebagai tanaman yang berkelanjutan, termasuk dengan pengelolaan yang melindungi aspek sosial dan lingkungan.
Di dalam pokok utama tersebut, termaktub berbagai hal, mulai pengelolaan dari hulu hingga hilir. Hal-hal tersebut menjadi perhatian Roundtable on Sustainable Palm Oil ( RSPO).
Sejak 2004, lembaga penyusun standar pengelolaan lahan kelapa sawit yang ramah sosial dan ramah lingkungan di tingkat internasional dan beranggotakan perusahaan dan LSM termasuk yang berada di Indonesia ini mempromosikan produksi dan konsumsi minyak sawit berkelanjutan.
Mereka mempromosikan produksi dan konsumsi yang mengusung keseimbangan di antara people (sosial/masyarakat), planet (lingkungan), dan profit (ekonomi).
Dari sisi ekonomi, masyarakat setempat mendapatkan manfaat dari perkebunan kelapa sawit, seperti lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.
Namun, jika pengembangan kelapa sawit tidak ramah sosial, maka hal tersebut dapat menyebabkan konflik, misalnya akibat sengketa lahan atau tidak adanya persetujuan masyarakat sebelum pengembangannya.
Demikian halnya jika pengelolaan kelapa sawit dilakukan dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Hal tersebut salah satunya dapat berakibat pada timbulnya krisis air.
Akibat lainnya adalah mempercepat perubahan iklim karena dibukanya hutan primer dan bernilai konservasi tinggi untuk dijadikan perkebunan serta pembukaan lahan yang salah, misalnya dengan cara membakar, begitu juga dengan rusaknya habitat satwa.
Untuk itu, industri kelapa sawit perlu berubah dengan cara menerapkan praktik-praktik yang ramah sosial dan ramah lingkungan untuk memastikan bahwa kita sebagai konsumen terus mendapatkan manfaat kelapa sawit, masyarakat setempat dan petani semakin sejahtera, dan alam terlindungi.
Hasil dari praktik berkebun secara berkelanjutan, yakni pada 2017, sekitar 19 persen minyak sawit di dunia sudah bersertifikat RSPO.
Catatan RSPO Indonesia menunjukkan, produksi minyak sawit berkelanjutan atau Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) dunia mencapai 11,6 juta metrik ton per Desember 2017. Adapun luas lahan bersertifikat mencapai 3,3 juta hektar pada periode yang sama.
Indonesia berkontribusi lebih dari 50 persen CSPO dunia. Dari sisi ekonomi, menurut Country Director RSPO Operations di Indonesia Tiur Rumondang, fakta ini menjadi bentuk peluang bisnis dalam perdagangan internasional.
"Namun, dari sisi lingkungan, hal ini harus menjadi perhatian untuk tetap bertanggung jawab mempertahankan kondisi lingkungan dan keanekaragaman hayati di Indonesia," ucap Country Director RSPO Operations di Indonesia Tiur Rumondang.
Untuk CSPO di Indonesia, produksi per Desember 2017 mencapai 6,29 juta metrik ton, dan luas lahan bersertifikat mencapai 1,69 juta hektar.
Terkini, menyangkut keberlanjutan itu, CEO RSPO Datuk Darrel Webber pada Konferensi Pertemuan Tahunan (RT) 15 RSPO di Bali, pada 4 Desember 2017, menyampaikan pesan bahwa untuk menciptakan perubahan yang nyata dan bersifat jangka panjang, RSPO perlu melibatkan semua pihak.
"Kita perlu mendorong perubahan dan tidak berharap bahwa mereka yang baru memulai perjalanan dalam praktik berkelanjutan harus menjadi pintar dalam semalam," pungkas Datuk Darrel Webber.
http://ift.tt/2D4XT6n